Suatu saat, Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mendapatkan pertanyaan sebagai berikut, “Ayahku–semoga Allah mengampuninya–bekerja di bank ribawi. Apa hukumnya jika kami memanfaatkan uang gaji ayah untuk keperluan makan dan minum? Keluarga kami tidak memiliki pemasukan selain dari gaji ayah atau saudari kami yang tertua. Saudari kami tersebut bekerja. Apakah kami tinggalkan uang gaji ayah dan kami meminta segala kebutuhan kami kepada saudari kami yang tertua tersebut, namun kami adalah keluarga besar? Ataukah saudari kami itu tidak memiliki kewajiban untuk menafkahi kami sehingga kami harus memenuhi kebutuhan rumah dari gaji ayah?”
Jawaban Ibnu Utsaimin, “Penuhilah kebutuhan kalian dengan menggunakan uang gaji ayah kalian. Untuk kalian manfaatnya, dan untuk ayah kalian dosanya, karena kalian mendapatkan harta tersebut dengan cara yang benar. Ayah kalian berharta sedangkan kalian tidak punya apa-apa, maka kalian mendapatkan harta tersebut dengan cara yang benar. Sedangkan, kesusahan dan dosa akibat memperoleh harta tersebut adalah tanggungan ayah kalian, bukan tanggung jawab kalian. Alasannya:
Pertama: Nabi mau menerima hadiah dari orang Yahudi, memakan makanan mereka, dan membeli barang dari mereka. Padahal, orang-orang Yahudi itu terkenal membungakan uang dan mendapatkan pendapatan dari sumber-sumber yang haram. Akan tetapi, Rasulullah mendapatkan harta orang Yahudi tersebut melalui cara-cara yang mubah. Jadi, jika kita mendapatkan harta melalui cara yang mubah, meski harta tersebut semula didapatkan dengan cara yang haram, maka hukumnya adalah boleh.
Kedua: Barirah, bekas budak Aisyah, diberi sedekah daging oleh seseorang. Ketika Nabi masuk ke rumah Aisyah, Nabi menjumpai kuali berisi daging yang sudah dimasak. Ketika Nabi meminta makanan, beliau hanya disuguhi roti dan lauk nondaging yang ada di rumah Aisyah, tanpa diberi daging. Beliau berkata, ‘Bukankah aku melihat ada kuali berisi daging masak?’ ‘Betul, wahai Rasulullah. Namun, daging tersebut berasal dari daging yang disedekahkan kepada Barirah,’ jawab orang-orang yang ada di rumah ketika itu. Padahal, Rasulullah tidak diperbolehkan memakan sedekah. Beliau bersabda, ‘Daging tersebut, semula, adalah sedekah untuk Barirah namun menjadi hadiah untuk kami.’ (HR. Bukhari dan Muslim)
Nabi memakan daging tersebut. Padahal, Nabi diharamkan untuk memakan sedekah. Hal ini dikarenakan Nabi tidaklah mendapatkannya sebagai sedekah untuk beliau, namun beliau mendapatkan daging tersebut sebagai hadiah.
Oleh karena itu, kami katakan: nikmatilah hasil gaji ayah kalian dengan penuh senang dan gembira, meski uang gaji tersebut adalah dosa dan bencana untuk ayah kalian, kecuali jika Allah melimpahkan hidayah-Nya kepada ayah kalian untuk bertobat. Siapa saja yang sungguh-sungguh bertobat maka Allah pasti menerima tobatnya. Kita memohon kepada Allah agar Dia melimpahkan–kepada kita semua–tobat yang sebenarnya.” (Majmu` Fatawa wa Rasail Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, jilid 29, hlm. 89—90, pertanyaan no. 23, terbitan Dar Tsaraya, Riyadh, cetakan pertama, 1431 H)
Artikel www.PengusahaMuslim.com